jam gadang |
Kalau dilihat dari sejarahnya, ternyata hari jadi Kota Padang lebih tua dari pada hari Kemerdekaan NKRI, Hari jadi Kota Padang ditetapkan Pemerintah pada tanggal 7 Agustus 1669. Penetapan ini sesuai dengan Momen penyerbuan yang heroik oleh para pejuang ke Loji (gudang senjata) Belanda di Muara Padang ketika itu hingga loji tersebut hangus terbakar.
Banyak bangunan bersejarah, melalui Dinas Pariwisata Kota Padang Lama yang berada di kawasan Kecamatan Padang Selatan sebagai bangunan bersejarah.
Dalam sejarah Kota Padang saat menjadi kota Metropolitan terjadi pada awal nya abad ke-17. Awalnya Kota Padang hanya dihuni oleh para nelayan, petani garam, dan pedagang. Dimana saat itu Padang dimata para pedagang rempah-rempah belum begitu penting karena arus perdagangan orang Minangkabau lebih mengarah ke pantai timur, melalui sungai-sungai besar yang berpangkal dari Gunung Merapi, tempat pemukiman mereka.
Namun sejak Selat Malaka tidak lagi aman dari persaingan dagang yang keras oleh bangsa asing seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, Malaka, Kerajaan Aceh, serta banyaknya peperangan dan pembajakan, maka arus perdagangan berpindah ke pantai barat Pulau Sumatera.
Suku Aceh adalah kelompok pertama yang datang setelah Malaka ditaklukkan Portugis akhir abad ke XVI. Sejak saat itu Pantai Tiku, Pariaman, dan Indrapura yang dikuasai oleh raja-raja muda wakil Kerajaan Pagarruyung berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan penting karena posisinya dekat dengan sumber-sumber komoditi seperti lada, cengkeh, buah pala, dan emas.
Kemudian Belanda datang mengincar Padang karena mempunyai Muara yang bagus dan cukup besar serta udara yang nyaman. Pada tahun l660 Belanda berhasil secara halus memaksakan kehendaknya lewat perjanjian dengan raja-raja muda tersebut untuk mengusir Aceh dari Muara Padang yang mulai lemah sejak kematian Sultan Iskandar Muda. Belanda bahkan diizinkan membuat kantor dagangnya di Padang. Sejak kedatangan Belanda lewat VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di sekitaran 1660 dengan niat mendirikan kantor dagang.
Bahkan 14 September - 3 November 1666, VOC melakukan pengusiran terhadap orang-orang Aceh (Kerajaan Aceh) yang dianggap menguasai perdagangan di Padang dengan bantuan pasukan Aru Palaka (Bugis), Kapiten Yonker (Ambon), dan orang-orang Padang sendiri di bawah pimpinan Orang Kayo Kecik.
Juga tentang kedatangan kapal Inggris (1683) yang konon berniat membeli rempah-rempah dan berkali-kali gagal. Niat membeli rempah pun berakhir pada pengambil alihan Padang pada 1793, dan pembuatan benteng pertahanan. Atau tentang penakhlukan dan penjarahan selama 16 hari oleh perompak dari Perancis, pimpinan François Thomas Le Même, pada tahun 1793-sebagaimana yang dicatat Piat Denis dalam ‘Pirates and Corsairs in Mauritius’.
Di antara rentetan kesejarahan panjang kota Padang, tercatat juga hari jadinya merujuk pada tanggal 7 Agustus 1669 seketika pertempuran hebat yang terjadi antara masyarakat Pauh dan Koto tangan melawan VOC-di mana menurut catatan Belanda 20.000 Gulden tertelan habis karna pemberontakan semalam.
Mata uang Belanda digunakan pula sebagai alat tukar yang sah. Dilain pihak, orang Aceh yang mulai terdesak menyingkir ke pedalaman. Pada tahun 1667 Belanda membuat loji yang berfungsi sebagai gudang sekaligus tangsi, kemudian daerah sekitarnya dikuasai pula demi alasan keamanan.
Daerah pinggir utara Batang Arau kian lama kian ramai oleh kantor, gudang, dan pemukiman. Selanjutnya Belanda membuat daerah pemisah antara pemukiman mereka dengan rakyat. Belanda menempati Muara bertetangga dengan suku China, kemudian Keling (India), baru terakhir penduduk asli.
Dalam rentetan sejarah selanjutnya walaupun tidak mudah, Belanda berhasil menguasai daerah ini melalui politik devide et impera–nya (adu domba) terhadap raja raja muda tersebut. Akhirnya pada tanggal 20 Mei 1784 Belanda menetapkan Padang sebagai pusat kedudukan dan perdagangannya di Sumatera Barat. Kemudian Kota Padang semakin ramai saja setelah adanya Pelabuhan Teluk Bayur, Pabrik Semen (Padang), Tambang Batu Bara (Kota Sawahlunto), dan dibangunnya jaringan kereta api.
Berbeda dengan Belanda yang meninggalkan bekas penjajahan dalam bentuk bangunan kolonial, kehadiran Aceh di Kota Padang justru melahirkan budaya Urang Padang yang agak khas di tengah Masyarakat Minangkabau lainnya. Bentuk rumah adat tradisi Padang lebih mirip dengan rumah tradisional Aceh sehingga disebut dengan nama Rumah Gadang Serambi Aceh.
Pengaruhnya lainnya terlihat pula pada atribut pakaian pengantin, gelar adat seperti Marah, Sutan yang nyaris tidak dikenal di pedalaman Minangkabau. Namun akibat urbanisasi orang Minangkabau dari segala pelosok ke Kota Padang, nuansa ke Minangkabauannya tetap dapat dirasakannya meskipun bentuknya lebih modern.
Walaupun demikian masih banyak objek wisata yang menjadi andalan kota Padang.
Comments :
0 komentar to “Kota Padang Pernah Menjadi Kota Metropolitan Pada Abad 17”
Posting Komentar